BANDAR LAMPUNG – Aliansi Pewarta Foto Lampung (APFL) berkolaborasi dengan galeri foto GueAriGaleri, serta Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera, menggelar acara edukatif bertajuk #ngobrolbukufoto Before too Late (Sumatera Forest Expedition).
Acara yang berlangsung di Woodstairs Cafe, Jalan Urip Sumohardjo 24, Sukarame, Bandar Lampung, Sabtu 6 Juli 2019, mulai pukul 19.00 WIB akan langsung dihadiri fotografer sekaligus penulis buku Before too Late Regina Safri serta pemilik galeri foto GueAriGaleri yang juga seorang fotografer Ari Andi Setiadi.
Satu pembicara lagi yang juga akan memberikan perspektifnyaadalah Wakil Gubernur Lampung Chusnunia Chalim.
Acara tersebut juga akan dimoderatori oleh mantan host Kompas TV Lampung dan juga penyiar di Radio Elshinta, Intan Pradina.
Ketua pelaksana acara #ngobrolbukufoto, Perdiansyah mengatakan, acara tersebut terbuka untuk umum dan tidak berbayar alias gratis.
“Sebenarnya, acara ini berawal dari obrolan ringan beberapa kawan jurnalis di meja kopi yang konsen dengan dunia foto jurnalis,” kata Perdiansyah dalam siaran persnya, Sabtu 6 Juli 2019.
“Sejalan dengan obrolan itu, kami mendapat tawaran dari Rere (panggilan Regina Safri) untuk menggelar acara bedah buku,” imbuh kontributor Agence France-Presse (AFP) tersebut.
“Dengan modal Bismillah, kami mencoba untuk mewujudkan rencana itu walaupun dalam waktu yang terbatas, hanya dua minggu. Alhamdulillah mendapat dukungan juga dari Ibu Wagub Nunik,” ucap mantan jurnalis foto Tribun Lampung tersebut.
Rere yang dihubungi memberikan gambaran singkat mengenai proses pembuatan buku Before too Late tersebut.
“Dulu, di dalam benak saya, hutan adalah rumah yang nyaman bagi margasatwa. Hutan adalah rumah untuk berkembang biak bagi tumbuhan dan satwa liar. Namun kini, bayang-bayang kedamaian belantara seisinya itu perlahan meredup,” ujar Rere.
“Bagi kehidupan liar, hutan justru berubah menjadi sumber ancaman. Bagaimana tidak, di rumah sendiri, satwa liar diburu, disakiti, dan dimusnahkan oleh orang-orang yang bernafsu menguasai dan memiliki. Pohon-pohon besar yang menjadi sumber energi kehidupan juga dibabati,” imbuh Rere.
“Rasa ingin tahu saya mendesak untuk menyelinap ke rimba Sumatera. Diselimuti rasa penasaran, saya memulai ekspedisi hutan Sumatera di awal 2013.”
“Bermodal tekad dan semangat, setapak demi setapak, saya menjelajahi hutan, mulai dari Aceh hingga Lampung, selama 3 tahun lebih,” kata Rere lagi.
“Merangkai berbagai kisah dan pengalaman susur hutan di Sumatera yang tentunya tak cukup bila saya tuangkan seluruhnya dalam buku ini. Kekaguman terhadap kharisma dan rasa terima kasih kepada alam semesta, membuat saya merasa kecil saat memasuki rimba raya,” lanjut Rere.
“Saya sadar, saya hanya manusia biasa yang tak bisa berbuat banyak. Tapi kelak saya akan menyesal jika tak berbuat apa -apa untuk hutan Indonesia,” tandas Rere. (rls/feb)
Komentar