Lambar- Tenaga ahli Bupati Lampung Barat Yusdianto dan Chairman of the Center for constitution and legislation studies Faculty of Law, Lampung University langsung menjawab soal tudingan ngawur MoU antara Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (SDAE) dengan Pemkab Lampung Barat.
Melalui rilis yang dikirimkan tersebut, mereka menjawab asumsi beberapa pihak, Kamis (22/8/2019).
Berdasarkan catatan hukum, Bahwa
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan merupakan kawasan konservasi terbesar ketiga di Sumatera. Pada awalnya Bukit Barisan Selatan merupakan kawasan Suaka Margasatwa yang ditetapkan pada
tahun 1935 melalui Besluit Van der Gouverneur Indie No. 48 stbl. 1935
dengan nama Sumatera Selatan I (SS I). Ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional melalui surat peryataan Menteri Pertanian No.736 Mentan/X1982 tanggal 14 Oktober 1982 melalui SK Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-ll1997 tanggal 31 Maret 1997 statusnya berubah menjadi Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Selain kawasan darat seluas 356.800 ha, ditetapkan pula Cagar Alam Laut (CAL) Bukit Barisan Selatan seluas 21.600 ha dalam pengelolaan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 71/Kpts Il/1990 tanggal 15 Februari 1990. Sebagai kawasan konservasi, Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan (TNBBS) tidak luput dari kerusakan sebagai akibat egal logging
dan perambahan hutan.
Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan juga tidak luput dari berbagai permasalahan, mulai dari permasalahan keamanan kawasan, kelestarian sumberdaya alam hayati, maupun keterbatasan sumberdaya
kelembagaan. Secara nyata, telah terjadi berbagai bentuk gangguan di
lapangan, seperti perambahan (encroachment), penebangan liar (legal
logging), perburuan liar (illegal poaching), konilik satwa dengan manusia, tata batas kawasan dan tata ruang/zonasi yang belum benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan
Aktivitas perambahan hutan yang dilakukan di kawasan Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan telah berlangsung sejak lama. Berdasarkan
Citra Landsat tahun 2002 teridentifikasi kerusakan Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan seluas 57.089 ha (17,5%) sebagai akibat perambahan
hutan dan illegal logging.
Selain itu, Berdasarkan data hasil inventarisasi pada akhir tahun 2003 ditemukan kegiatan perambahan telah mengakibatkan kerusakan dan konversi areal hutan seluas +30.841,5 Ha dengan jumlah perambah sebanyakt 15.934 KK, kawasan hutan telah disulap menjadi
areal perladangan dengan jenis tanaman utama kopi, lada, coklat’kakao,
nilam dan tanaman pertanian lainnya seperti padi.
Dengan berbagai macam pemasalahan yang terjadi, sebagai Kabupaten Lampung Barat yang hampir secara keseluruhan berada dalam
cakupan wilayah kawasan hutan. memiliki kepentingan besar untuk
menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung
dengan cara sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah konservasi
sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan
mampu mewujudkan keseimbangan serta pembangunan daerah
Kesepakatan antara Diroktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE dengan Bupati Lampung Barat berangkat dari policy pemerintah tentang pola kemitraan konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem dan pemberdayaan masyarakat.
Alasan secara sosiologis munculnya kesepakatan ini adalah membantu Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dalam mengurangi meluasnya perambahan hutan untuk kebon kopi dan membantu melestarikan satwa liar dilindungi yang kondisi saat ini dalam
kondisi sangat kritis, terutama Badak Sumatera dan Harimau Sumatera.
Secara yuridis, kata Yusdianto, bahwa dasar hukum kesepakatan tersebut adalah:
1) Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistem Nomor: 6.6/KSDAE/SET Kum. 1/6/2018 tentang Petunjuk
Teknis Kemitraan Kanservasi pada Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam.
2) Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan Nomor: P.2/PSKL/SET/KUM.1/2/2019 tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Penyaluran Pemberian Bantuan Pemerintah untuk
Program Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan.
Artinya pembentukan kesepakatan dimaksud berdasarkan asas
pembentukan perundang-undangan sebagaimana Pasal 5 UU No. 12 tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang meliputi:
a) Kejelasan tujuan, b) Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c)
Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d) Dapat dilaksanakan; e)
Kedayagunaan dan kehasilgunaan; Kejelasan rumusan dan g) Keterbukaan.
Kemudian, pembentukan kesepakan tersebut telah berdasarkan
hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana Pasal 7 ayat (1) UU
No. 12 Tahun 2011, yang bebunyi: “Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Pasal 7 ayat (4), yang berbunyi: Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Untuk itu secara hierarki atau tata
urutan peraturan perundang-undangan tersebut mempunyai arti penting dalam hal kekuatan hukum peraturan perundang-undangan.
Pasal 7 ayat (5), yang berbunyi: “Kekuatan hukum Peraturan
Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki” Dengan ketentuan
ini maka telah jelas diatur kekuatan hukum dan kekuatan mengikat dari
masing-masing peraturan perundang-undangan. Materi peraturan perundang-undangan tidak boleh mengandung substansi yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Materi peraturan perundang-undangan hanya dapat membuat aturan yang bersifat merinci dan melaksanakan peraturan perundangan di atasnya.
Selain itu, kata dia Dalam pembentukan Kesepakatan tersebut juga telah berlaku asas lex superiori delogat legi inferiori, yang berarti Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan/mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Sehingga dalam penyusunannya pembentuk peraturan perundang-undangan harus memastikan bahwa materi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
“Jadi secara eksplisit, sasaran dari kesepakatan adalah kemitraan
dalam konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem dan pemberdayaan
masyarakat,” tegasnya.
Peningkatan efektivitas pengelolaan hutan konservasi, upaya konservasi keanekaragaman hayati dan pelibatan masyarakat dalam hal pegelolaan hutan. Sehingga keberadaan hutan taman nasional dapat terpelihara dan terlindungi serta dimanfaatkan secara lestari untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
Selanjutnya, Kawasan konservasi memiliki peran dan arti penting dalam
kehidupan, karena memiliki nilai-nilai nyata dan intrinsik yang tidak
terhingga: ekologi, ekonomi, sosial. Oleh karena itu dibutuhkan pengelolaan yang baik yang diantaranya dengan menekankan desentralisasi dan peran
serta masyarakat.
Pola hubungan pemerintah dengan masyarakat dalam bentuk kemitraan akan menguntungkan semua pihak, baik pemerintah masyarakat ataupun kawasan konservasi itu sendiri. Bagi masyarakat lokal, keterlibatan dalam pengelolaan kawasan konservasi bukan dilihat semata-mata sebagai sebuah tugas, akan tetapi didorong oleh motivasi dan rasa memiliki, dimana mereka adalah bagian dari hutan atau kawasan konservasi itu sendiri.
Menurutnya, Ada beberapa faktor yang mendukung efektifnya pengelolaan kawasan konservasi dengan dilibatkannya masyarakat. Termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) adalah, (1) kedekatan masyarakat dengan kawasan konservasi, (2) adanya taktor kepentingan, baik secara historis,
sosial-religi, ekologi maupun ekonomi, dan (3). komitmen dan kepedulian
(seperti yang ditunjukkan oleh LSM maupun kelompok pecinta lingkungan
hidup).
Menurut UU nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE berpilar kepada tiga
tujuan WCS (World Conservation Strategy), yaitu: 1) Perlindungan sistem
penyangga kehidupan; 2) Pengawetan keanekaragaman jenis dan ekosistem; dan 3) Pemanfaatan yang lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Dalam konsep ini meletakkan kewenangan pemerintah terbagi sesuai
dengan peran masing-masing pemangku kepentingan (stakeholders) Namun, terpenting adalah masyarakat mendapatkan keuntungan yang adil dari pelaksanaan konservasi itu sendiri.
Tiga elemen utama dalam rezim pengelolaan kolaboratif, yaitu:
1. Pembagian kewenangan dan tanggung jawab (share of authority and
responsibility) sehingga ada pembagian keunturngan yang adil diantara pemangku kepentingan (equitable sharing of benefits arising from the
management).
2. Tujuan secara sasial, ekonomi dan budaya merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dengan strategi pengelolaan;
3. Pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan (lestari) harus menjadi
tujuan utama.
Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.83/MENLHKSETJENKUM. 1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, Pasal 1 ayat (1. menegaskan Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilakssanakan oleh masyarakat
setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk
meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika
sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan
Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan.
Maksud dan Tujuan Peraturan Menteri tersebut adalah, Pasal 2 Ayat
(1): Peraturan Menteri ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman pemberian hak pengelolaan, perizinan, kemitraan dan Hutan Adat di bidang Perhutanan Sosial. Pasal 2 Ayat 2) Peraturan Menteri ini bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat
setempat dan masyarakat hukum adat yang berada di dalam atau di sekitar
kawasan hulan dalam rangka kesejahteraan masyarakat dan pelestarian fungsi hutan. Dari hal tersebut dapat diketahui bukan cuma hanya untuk jasa lingkungan dan bukan budidaya. Selain tu, kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat dilakukan dalam bentuk: a) pemberian akses berupa:
pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, perburuan
tradisional untuk jenis yang tidak dilindungi, pemanfaatan tradisional
sumberdaya perairan terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi dan wisata
alam. b) kerjasama antara pemegang izin pada kawasan konservasi
dengan masyarakat setempat difasilitasi oleh UPT dan dil aksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Adapun kedudukan masing-masing pihak telah diterangkan dalam
kesepakatan tersebut :
a) Pemerintah Kabupaten Lampung Barat melalui dinas terkait, penyuluh
dan pemerintah desa/pekon membantu dalam meningkatkan
produktivitas tanaman perunit lahan, agar dapat meningkatkan
pendapatan petani, termasuk penanggulangan hama dan penyakit,
keseburan tanah, mencegah erosi tanah dan pemasaran hasilnya.
b) Direktorat Jenderal KSDAE membantu agar setiap Kelompok Tani
Kemitraan Konservasi mendapatkan dukungan pengakuan dan
perlindungan Kemitraan Kehutanan (KULIN KK), serta mendapatkan
program dan kegiatan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
petani dan kelestarian lingkungan dari Direktorat Jenderal Perhutan
Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Kementeria LHK serta
mendapatkan pendampingan dan dukungan teknis lainnya.
Program kemitraan konservasi ini bukan hanya dilaksankan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat dan tidak juga dilaksanakan oleh Dirjen Konsevasi Sumber Daya Alam dan Ekonsistem namun dilaksanakan dalam bentuk Gugus Tugas, dengan keputusan Direktur Jenderal KSDAE yang terdiri dari perwakilan Direktorat Jenderal KSDAE, Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Provinsi Lampung. KPH Liwa, Bappeda Pemkab Lampung Barat, BBNTBBS, pakar dan para mitra
LSM (WCS, WWF. Repong Indonesia, YABI, Sumatera Tiger Praject
Watala, Rumah Kolaborasi dan Rainforest (Allience).(*)
Komentar