Bandar Lampung – Akademisi Universitas Lampung (Unila), Dr. Satria Prayoga, menyatakan keprihatinannya terhadap putusan Bawaslu Pringsewu terkait kasus kampanye di tempat ibadah oleh mantan bupati, Sujadi.
Menurut Dr. Satria, keputusan Bawaslu Pringsewu yang menghentikan kasus tersebut karena tidak terbukti melakukan pelanggaran, dapat menjadi preseden bagi seluruh Indonesia dan membuka peluang bagi calon kepala daerah lainnya untuk melakukan kampanye di tempat ibadah.
Dr. Satria menjelaskan, putusan ini berpotensi menciptakan yurisprudensi atau rujukan hukum baru di Indonesia. “Posisi Bawaslu dalam hal ini mirip dengan hakim, karena mereka memiliki kewenangan quasi peradilan dalam mengawasi, memeriksa, dan memutus perkara pemilu. Jika kampanye di tempat ibadah dianggap tidak melanggar, maka keputusan ini bisa menjadi rujukan bagi calon kepala daerah di seluruh Indonesia,” ujar Dr. Satria.
Lebih lanjut, Dr. Satria memaparkan bahwa sistem hukum di Indonesia terdiri dari sumber hukum materil dan formil. Sumber hukum materil mencakup nilai-nilai dasar seperti Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, sementara sumber hukum formil mencakup Undang-Undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi, dan doktrin.
Menurutnya, keputusan Bawaslu Pringsewu yang tidak memberikan sanksi kepada Sujadi dapat dianggap sebagai yurisprudensi baru, yang berpotensi digunakan sebagai acuan bagi kasus serupa di masa depan. “Ini sangat berbahaya karena dapat diartikan bahwa kampanye di tempat ibadah, yang seharusnya menjadi tempat netral, bisa diperbolehkan,” tegas Dr. Satria.
Dr. Satria juga menyoroti bahwa banyak komisioner Bawaslu, baik di Pringsewu maupun di daerah lain, mungkin kurang memahami filosofi hukum secara mendalam karena latar belakang pendidikan mereka yang bukan dari disiplin hukum. Hal ini, menurutnya, bisa menyebabkan kesalahan dalam memaknai aturan terkait kampanye di tempat ibadah.
“Jika tindakan kampanye di tempat ibadah ini dibiarkan tanpa sanksi tegas, maka calon kepala daerah di seluruh Indonesia bisa saja meniru hal yang sama. Ini bisa menjadi bumerang bagi netralitas tempat ibadah dalam proses politik,” jelasnya.
Dr. Satria mengingatkan agar Bawaslu lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berpotensi menciptakan preseden hukum baru. “Keputusan Bawaslu Pringsewu ini bisa dianggap telah melahirkan keadaan hukum baru yang memungkinkan calon kepala daerah untuk memperkenalkan pasangan, visi, misi, dan program di tempat ibadah,” tutupnya.
Dengan pernyataan ini, Dr. Satria berharap ada evaluasi serius terhadap putusan Bawaslu agar tidak disalahartikan sebagai izin kampanye di tempat ibadah di seluruh Indonesia. (*)
Komentar